Line up panitia cantik tidak bisa menyelamatkan konsep acara yang buruk.Ruang 109 sebagai komunitas yang gawul dan kreatif mendapatkan undangan untuk mengikuti acara dengan judul yang sangat menjanjikan: Rising Creative Indonesia yang diadakan di Gramedia Expo Surabaya (9/4). Lima orang delegasi anak ganteng dari Ruang 109 pun datang tepat waktu, jam 5 sore. Padahal kami baru tahu kalau acara ini baru dimulai pada pukul 7 malam. Shit. Selama itu kami harus menunggu di lobi dengan antrian yang mengular akibat koordinasi panitia yang kurang taktis. Tapi lumayanlah, kami dapat sekotak snack berisi sepotong kecil brownies. Kecuali Ripkill yang mendapatkan sepotong kroket. Tapi perbedaan itu tidak sampai membuat kami gontok-gontokan.
Setelah menunggu sekian lama, dan kami hampir saja pulang. Ternyata panitia menyuruh kami masuk. Ruangannya cukup besar, konon dengan harga sewa 200 juta. Jurusan Psikologi Unair ternyata cukup kaya -hal ini diamini oleh sekelompok maba Psikologi Unair di akhir acara, mereka membagi-bagikan kue sisa acara kepada kami sambil berkata,"Iya mas, Psikologi Unair memang kaya kok!" dan kami hiraukan karena kami asyik makan, maaf ya kawan sungguh acara kalian membuat kami lapar. Bagaimana kami tidak lapar, lha wong acara yang baru berakhir jam setengah duabelas malam ini ternyata acara pelatihan penuh energi yang kita dituntun untuk meneriakkan yel-yel dalam bahasa alien. Kami terjebak, of course.
Acaranya sendiri cukup unik -kalau tidak mau dibilang aneh. Awalnya saya berpikir acara ini berbentuk semacam seminar dan diskusi santai dengan para creative leader yang dihadirkan; Alanda Kariza, Riri Riza, Singgih Kartono, dan Dynand Fariz. Ternyata format acaranya jauh berbeda. Kalau boleh saya tampilkan dalam sebuah rumus adalah:
(Operet Bobo + Leadership coaching ala Tianshi + Latihan menggambar ala anak TK + Tarian pagan ala suku Kwarikumbo = Rising Creative Indonesia)
Apakah Anda paham dengan rumusan diatas? Pasti puyeng bukan, kami merasakan hal itu sejak pertama kali masuk. Seorang panitia sempat saya tanyai,"Mas acara ini tujuannya apa sih?" dia menjawab,"Wah saya juga ndak jelas mas, saya cuman disuruh jadi guide kelompok," katanya simpel. Mampus batin saya. Lha kalo pantianya aja udah nggak jelas kayak gini gimana esensi acara mau sampai ke audiens? Mungkin mereka ingin menyajikan sebuah seminar kreatif dengan format acara yang cutting edge, tapi justru bagi kami acara ini malah buang-buang duit saja.
Perencanaan panitia juga tampak tidak matang dalam mengatur timing. Acara satu dengan yang lain bisa saling tumpang tindih. Dan yang menurut kami paling fatal adalah ketika panitia tunggal langgang mengatur ulang tempat duduk peserta, lantaran ruangan di samping acara digunakan untuk penyelenggaraan acara Jazz Legacy yang menampilkan Benny Chen dan Yason Gunawan. Suara drum up tempo dengan komposisi musik jazz fusion dari ruang sebelah akhirnya tembus karena sekat yang tidak tebal dan benar-benar membuat kami mengutuk acara Rising Creative Indonesia ini. Jadi, ruangan besar dengan AC menderu dan harga sewa yang selangit tidak bisa menjamin suksesnya sebuah acara. Saya justru lebih suka acara Rolling Stone Music Biz yang diadakan di Gedung Serba Guna Unair yang tanpa AC dengan format acara yang biasa aja namun lebih membumi. Apalagi di acara Rolling Stone saat itu menghadirkan Endah n Rhesa sebagai penutupnya. Acaranya murah meriah dan, sukses!
Saya juga sedikit menyesal karena tidak dapat bertemu dengan Singgih Kartono secara personal. Tapi kami sedikit terhibur dengan deretan panitia berwajah manis yang berseliweran sok sibuk selama acara. Ya lumayanlah. []
Ayos Purwoaji